Ritus Makan dan Apapun tentang Makan-makan yang Menyelamatkan
“Satu bakmi daging bakar, satu bakmi bebek panggang, ya?” ucap pramusaji memastikan pesanan kami telah sesuai, sembari menghidangkan dua mangkuk bakmi ke hadapan kami. Tak lupa dua mangkuk kecil berisi kuah, lengkap dengan cacahan daun bawangnya, beserta sumpit bambu yang juga turut dioper oleh mas-mas pramusaji dari nampan coklatnya itu.
“Sudah semua, ya, pesanannya. Silakan,” ujar pramusaji yang dahi hingga pelipisnya dibasahi keringat, tapi masih mencoba melempar senyum ramahnya pada kami.
Aku merasa cukup beruntung, mungkin soal makan bukan lagi menjadi kerisauan lagi buatku. Yang penting ada cukup nasi dan lauk pendampingnya kurasa aku bakal lebih sanggup dalam bertahan hidup. Hanya saja, makan kadang kala bisa memunculkan persoalan lainnya. Makan, terutama makan-makan, seringkali kunegasikan dengan tujuan lain ketimbang untuk memenuhi gizi seimbang. Terlebih lagi, makan juga kadang tak melulu soal cita rasa masakannya. Jikapun iya, anggap saja itu sebagai bonus.
Intinya, soal makan, boleh kuakui kalau aku cenderung pragmatis. Makan enak bukanlah kemenangan besar bagiku, meskipun aku juga menikmatinya dan beberapa masakan memang layak disebut sebagai sebuah mahakarya. Karena masakan — tak harus enak, asal layak untuk ditelan, syukur-syukur bisa dinikmati, dan dirayakan — pastilah buntut dari suatu proses kreatif. Namun, untuk betul-betul makan enak kurasa aku sanggup menunda untuk sekian lamanya. Jika hari ini belum, mungkin esok atau tahun depan. Tak ada masalah. Nyatanya memang aku cukup pemaaf bagi diriku sendiri, setidaknya untuk urusan makan. Atau sebetulnya memang aku yang kurang beruntung saja. Yasudah.
Sebuah meja makan, warung, kedai, atau restoran bisa saja menyisihkan rekaman ingatan yang jelas terhadap gagasan-gagasan bahkan emosi-emosi yang pernah terlahir di sana. Sebagai pelengkap, yang nyaris sulit kulupa adalah orang-orang yang terlibat dalam ritus makan-makanku tersebut. Tentang apa saja yang pernah kubagi dan apa saja yang pernah kudapat. Semua yang sempat menjadi cerita, yang pernah menjadi canda dan tawa, yang menjadi nelangsa dan air mata, atau satu dua rahasia yang akhirnya terpaksa harus dibagi dengarkan agar tetap waras. Wajah-wajah dan semua ekspresi yang punya variasi arti tersendiri. Semua memori yang tak akan terganti. Terekam dan tak pernah mati.
Setelah siang yang begitu panas, meskipun berhias langit Jakarta yang kelabu, kubayar sebagian kekalahanku dengan semangkuk bakmi bebek panggang yang molek di lidahku. Perutku lega, mangkuk di hadapanku telah tersapu bersih tak bersisa, dan aku menyukainya.